Senin, 15 Februari 2016

Mesra dalam Ringkasnya Hidup

Meski tak disepakati beberapa ulama lain, Ibn Qayyim Al-Jauziyah dalam Tuhfatul Maudud bi Akhamil Maulud menegaskan disunnahkan menggemakan adzan ditelinga bayi yg baru lahir berdasr hadits yg beliau anggap shahih. lalu bakdanya, yg terpastikan bagi setiap muslim adalah, dia akan dishalatkan kelak ketika wafat. "Maka sesungguhnya," demikian beberapa ahli hikmah memberi nasehat, "hidup dari lahir hingga mati, hanya sejarak antara adzan dan shalat."

Betapa singkatnya, betapa sempitnya.


Hingga sejarah hidup kebanyakan manusia hanya ditulis tiga baris; nama,lahir tahun sebegitu, dan wafat taun sekian. itu pun terukir di nisan berlumut, tak terbaca, dan dilupakan. padahal jasad terbaring dibawah gundukan itu, menghadapi setiap pertanyaan atas setiap detik yg pernah dilalui dalam hidupnya. Dunia melupakan tahun demi tahun hidupnya, dan akhirat menuntut tanggung jawab atas setiap hela nafasnya.


Alangkah memasygulkan.


Hari ini, dalam hidup yg disesaki pegal dan penat, linu dan nyeri, sebal dan gemas, kita perlu merenung. Kita terkenang Sayyidina 'Umar ibn Al-Khaththab dalam peerjalanan beliau ke Baitul Maqdis ketika melihat seorang rahib sedang khusyu' bersembahyang didepan patung 'Isa dan ibundanya. Kala itu, dengan air mata mengalir hingga membasahi jenggot lebatnya, 'Umar menggumam sebuah ayat, "Berkerja keras lagi kepayahan. Memasuki neraka yang panas." (Al-Ghaasyiah  [88]: 3-4)


Tulang yg dibanting-banting, keringat yg diperas-peras, tubuh yg diauskan, serta umur yg dihabiskan dalam kerja dan doa selama hidup didunia yg singkat lalu berujung siksa abadi adalah hal yg jerih dan ngeri. Dan 'Umar menangisi sang rahib; syahwatnya yg dibunuh, perutnya yg dilaparkan, penampilan yg diburukkan dan hidupnya yg disusahkan demi keridhaan Tuhan dalam angan. 'Umar menangisi sang rahib; betapa yakinnya dia tanpa ilmu, betapa jahatnya syaithan penyesat.


Sungguh, tugas hidup kita adalah mengemudi hati menuju Allah, di jalan yg lurus. Tetapi hati kita adalah qalb. Ia punya makna taqallaba, bergoyah-gayih, berbolak-balik, berombang-ambing. Maka Agar tak kehingan arah, tak terperangkap dilabirin sesat, dan tak terpedaya oleh detak dan dentam sendiri; betapa ia perlu dimesrakan dengan Penciptanya.


"Sesungguhnya hati-hati ini berada diantara jari-jemari Allah Yang Maha Pengasih," demikian Nabi Shallallahu 'Allaihi wa Sallam bersabda sebagaimana Imam Muslim dan Ahmad meriwayakan, "Dia ulak-alikkan menurut apa yang dikehendaki-Nya."


Karenanya, kita mengulang-ngulang doa: "Tsabbit qalbii 'ala diinik, tetapkan hati kami diatas agama-Mu", di tiap shalat. Sebab, gamitan jemari-Nya agar hati tertuntun menuju keridhaan-Nya adalah hajat terbesar kita.


Kita yg sepanjang hayat belajar dan beramal, bekerja dan berleha, berpayah dan berehat, berbangga dan meratap, sungguh amat memerluhkan pemaknaan mendasar dalam hubungan kita dengan Sang Pencipta. Tanpa itu, hidup akan menjadi siksa sebelum siksa. Maka mari belajar dari salah satu sosok paling mesra terhadap Rabbnya sepanjang tarikh manusia.


Ibrahim namanya, Khalilurrahman gelarnya.


"Ibrahim," demikian ditulis oleh Sayyid Quthb dalam Fi ZZhilalil Qur'an, "gidup dalam segala keadaan bersama Rabbnya. Ibrahim mencari-Nya dengan segenap keyakinan dan menghadapkan wajah pada-Nya dengan sepenuh cinta. Ibrahim menggambarkan hubungannya dengan Allah, seakan-akan dia melihat-Nya langsung. Ibrahim merasakan kenikmatan dan karunia Rabbnya dengan hati, persaan, dan segala anggota badan."


Maka, ketika Ibrahim berlepas diri dari kejahilan kaumnya, pensifatannya tentang Allah amat layak kita simak. Sungguh, di lapis-llapis keberkahan; bapak para nabi ini menyederhanakan hidup dan hubungan kita dengan Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam beberapa kalimat penuh makna.

"Yaitu Rabb yang telah menciptaku, maka Dia memberiku petunjuk. Dan Dialah yang memberiku makan dan memberiku minum. dan apabila aku sakit, maka Dialah yang menyembuhkanku. Dan yang akan mematikanku kemudian menghidupkanku kembali. Dan yang amat kuinginkan untuk mengampuni kesalahanku pada Hari Pembalasan." (Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 78)


***

"Yaitu Rabb yang telah mencitaku, maka Dia memberiku petunjuk." (Q.s Asy-Syu'araa' [26]: 78)


"Yaitu bahwa Dia telah menjadikanku," tulis Sayyid Quthb dalam Zhilal, "dan menumbuhkan diriku dari sesuatu yang Dia mengetahuinya, tetapi aku tak berilmu tentangnya." Ilmu-Nya juga adalah setinggi-tinggi perwujudan.


bercerminlah sejenak, dan renungi helai-helai rambut kita; betapa lembut Penciptanya. Berkacalah sejenak, dan tafakuri garis-garis wajahkita; betapa indah Penciptanya. Bercerminlah sejenak, dan perhatikan susunan tubuh kita; betapa adil Penciptanya. Berkacalah sejenak, dan sorotlah sosok utuh kita; betapa sempurna Penciptanya.


"Sungguh benar-benar Kami ciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk. (Q.s At-Tiin [95]: 4)


Sebab ia ciptaan terbaik dalam lahir maupun batin, ruh maupun jasad, pikir maupun rasa; maka manusialah makhluq yg paling halus menimbang dan paling bagus dipandang. "Karena inilah manusia dinamai basyar," demikian menurut Imam Al-Mahalli dalam Tafsirul Jalalain, "sebab manis wajahnya dan berseri sinarnya."


Tetapi jika dipikir manusia tanpa bimbingan, keindahan rganya takkan mampu melampaui derajat hewan. "Calon ayam," demikian muballigh kondang K.H. Anzar Zahid berpesan, "yakni telur, lebih mudah dijual daripada calon manusia. Kotoran sapi, lebih laku dan berguna daripada kotoran manusia. Kambing jantan yg 'memperkosa ' kambing bertina peliharaan tetangga hingga bunting akan dianggap kebajikan. tetapi, anak lelaki yg menghamili gadis tetangganya pastilah kenestapaan."


Maka diantara seluhur-luhur anugerah Allah pada manusia citaan-Nya adalah menganugerahinya hidayah.


"Sebab, Dia lebih tahu," demikian lanjut Sayyd Quthb dalam Zhilal, "tentang hakikat dan bentuj rupaku, tugas-tugas dan perasaanku, juga keadaan dan tempat kembaliku; maka Dia pulalah yg memberi petunjuk kepadalu. Menunjukiku untuk menuju-Nya, menujukiku jalan yang aku harus meniti diatasnya, dan menunjukiku irama langkah yg harus aku ayunkan ke arah-Nya.


Di lapis-lapis keberkahan, tiap kali mensyukuru penciptaan kita yang jelita, sungguh penting memohon petunjuk-Nya agar tergamit menjadi makhluq mulia. seprti doa saat kita bercermin dan mengaca, "Allahamdulillaah. Allahumma kamaa hassanta khalqi fahassin khuluqi. Segala puji bagi Allah. Ya Allah, sebagaimana telah Kaubaguskan penciptaanku, maka baguskan pula akhlaqku."


***
~BERSAMBUNG~

~Karya: Ust Salim A Fillah
~Dikutip dari: Lapis-Lapis Keberkahan


Mengemudi Hati di Jalan Lurus bagian ke-2

"Saat kita bicara Islam," demikian Dr. 'Abdul Karim Az-Zaidan dalam salah salah satu pengantar kitabnya, Al Mustafad min Qashashil Qur'an, "yg tergambar paling mula-mula adalah fiqh. ini tak salah. Sebab, bukan fiqh itu tak baik, bukan fiqh itu tak penting, bukan fiqh itu tak bermanfaat. fiqh adlah panduan kita untuk melangkah menapaki dunia hingga ke pintu akhirat. dengan fiqh, hidup kita terbimbing dan terarah, tergamitdan terjaga. tetapi kita harus mencatat satu hal; fiqh hanya jasad kosong dan kerangka mati, jika tak dihidupkan dengan ruh ketaatan."


Jadi bagaimana menghadirkan ruh ketaatan itu bagi tiap amalan kita?


Al Qur'an menjawab dengan susunan isinya yg menabjukan. Syaikh 'Abdul Wahhab Khalaf menghitung bahwa ayat hukum dalam Al Qur'an tak lebih dari 150 buah. pun Ahmad Amin menyatakan hanya sekitar 200 saja. Artinya, yg menempati bagian terbesar muatan Kalamullah ini justru bukanlah fiqh, melainkan cerita. 


Dari Sa'id ibn Jubair, dari Ibn 'Abbas, beliau menyatakan, "Al Qur'an ini, 6000 ayatnya adalah kisah, 600 ayatnya adlah tanda kebesaran Allah, 60 aaytnya adalah aturan mu'amalah, dan 6 ayatnya adalah hukum-hukum hudud." Atsar ini mungkin keliru sering disalahfahami untuk dijumlahkan, sehingga dikatakan jumlah ayat Al Qur'an ada 6.666. Padahal, dalam riwayat ini, bisa saja satu ayat berisi irisan lebih dari satu kandungan sehingga menurut perhitungan para ulama jumlahnya sekira 6.236.


Maka semua ulama sepakat bahwa bagian terbesar dari kandungan Al Qur'an adalah kisah. Ialah kisah penjelasan bagi kita tentang jalan yg lurus. Kisah yg menjadi petunjuk kita untuk meniti jalan yg lempeng. Kisah yg menjadi pembeda kita untuk memisahkan jalan yg shalih dzri jalan sesat. Kisah yg menjadi kabar gembira dan peringatan untuk teguh di jalan. Kisah yg menjadi cahaya saat mata batin kita terkaburkan oleh debu yg hinggap dijalan kebenaran. Kisah yg menjadi penyembuh luka-luka kala hati dirancah dijalan kebajikan.


Maka, ya Allah, susurkan dan susulkan kami di jalan mereka yg Kaulimpahi cinta; dalam sempit maupun lapang, senyum dan juga lukanya. Maka, ya Allah, walau tak Kaukayakan kami seberlimpah Sulaiman; karuniakan kami syukur dan tawadhu'nya., yg hormati semut serta burung hud-hud.


Mka, ya Allah, walau tak Kauberi kami daya raga dan keajaiban seperkasi]a Musa, curahi kami keberanian dan keteguhan dalam memimpin kaum yg sering membuat kecewa. Maka, ya Allah, walau usia tak sepanjang Nuh mulia, tegarkan kami dengan kegigihan da'wah dan tekad bajanya untuk terus menyampaikan kebenaran dalam aneka cara.


Maka, ya Allah, walau paras tak setampan Yusuf rupawan, kuatkan diri kami menelan semua goda dan derita, tajamkan nuraninya hingga mampu membaikan negeri. Maka, ya Allah,walau keajaiban tak selalu menyertai perjalanan, penihi hati kami dengan kasih mesra seperti 'Isa hingga tunduklah musah dalam cinta.


Maka, ya Allah, walu tak perlu ditelan ikan digelap lautan, hiasi jiwa kami dengan kepasrahan  Yunus yg rintih doanya Kaudengarkan. Maka, ya Allah, walau tak usah kehilangan, dicekik sakit, miskin, dan musibah; sejukkan hati kami dengan sabar dan dzikir seperti Ayyub yg tabah.


Maka, ya Allah, walau ujian cinta tak seberat Ibrahim, Hajar, dan Sarah; limpahi keluarga kami dengan sakinah, mawaddah, dan rahmah, dengan keturunan yg shalih dan shalihah. Mak, ya Allah, walau ibadah kami tak seterpelihara Zakaria dan kesucian kami tak seterjaga Maryam; nikamatkan bagi kami bakti anak yg mulia seperti Yahya dan 'Isa.


Maka, ya Allah, walau belum pernah mencicipi surga bak Adam dan Hawa, jadikan rumah kami terasa seperti surga seelum surga, terimalah taubat atas segala dsa. Maka, ya Allah, walau hidup kami tak sepedas-pedih warna-warni hayat Ya'qub, jadikan kami hanya mengadu kepada-Mu semata, sehingga menampilkan kesabaran cantik yg mencahaya.


Maka, ya Allah, walau tak harus berlari dan bersembunyi sebagai mana Ashabul Kahfi, beri kami keberanian dan perlindungan saat tegas mengatakan Al-Haq didepan tirani. Maka, ya Allah, walau kerajaan tak seluas Dzul Qarnain, curahi hati kami akhlaq pemimpin; yg senantiasa menyeru pada iman, mebebaskan ummat, serta menebar manfaat.


Maka, ya Allah, jangan kau Kaukaruniai pasangan mirip Fir'aun teguhkan kami bagai Aisyah yg mukminah, anugerahkan rumah di sisi-Mu didaalam surga. Maka, ya Allah, walau persoalan hidup tak sepelik Ibunda Musa, bisikan kami kejernihan-Mu di firasat kamisaat menghapi musykilnya hari-hari. Maka, ya Allah,walau ilmu kami tak seutuh Luqman Al-Hakim; tajamkan pikir dan rasa kami untuk mengambil 'ibrah di setiap kejadian.


Maka, ya Allah, susurkan dan susulkan kami di jalan lurus, di lapis-lapis keberkahan.


***


Di lapis-lapis keberkahan, jalan lurus itu berkelok dan menikung, menanjak dan melongsor, membentang dan menghimpit. Di lapis-lapis keberkahan, jalan lurus itu curam dan terjal, deras dan gemuruh, keras dan runcing.


Di lapis-lapis keberkahan, tugas hidup kita adlah mengemudi hati mmenuju Allah di jalan yg lurus. Maka pangkal kelurusan itu oertama-tama adalah hati yg tak pernah berbelok dari Allah sebagai sesembahan yg haq. lurus, sebab hanya kepada Allah tunduknya, taatnya, dan tenteramnya. Lurus, sebab hanya untuk Allah yakinnya, pasrahhnya, dan kebajikannya. Lurus, sebab hanya bersama Allah gigil takutnya, gerisik harapnya, dan getar cintanya.



~Karya: Ust Salim A Fillah
Dikutip dari: Lapis-Lapis Keberkahan

Rabu, 10 Februari 2016

Mengemudi Hati di Jalan Lurus

"Ya Rasulullah" demikian suatu hari para sahabat memberanikan diri mengajukan pinta, "sekiranya sudi, berceritalah engkau kepada kami."


"Ini terjadi" demikian Mush'ab ibn Sa'd meriwayatkan dari ayahandanya, Sa'd ibn Abi Waqqash RA, "setelah Al Qur'an turun beberapa waktu lamanya dan Nabi pun membacakan kesemuanya kepada para sahabat."


Inilah kitab yang seandainya diturunkan kepada gunung, niscaya gunung itu akan pecah berantakan karena takutnya kepada Allah. maka pasti saja, hati para sahabat itu, sekokoh apaun, merasakan berat yang tak terperi terhadap Kalam-Nya. Sebab, firman itu telah menunjuk mereka untuk menjadi pendamping dan penyokong Muhammad, sang rahmat semeta, pembawa kabar gembira, pemberi peringatan, penyeru kejalan Allah, dan ;pelita yang mencahaya. Sebab wahyu itu menunjuk mereka untuk menjadi insan-insan pertama umat terbaik yang ditampilkan pada manusia, menyuruh pada yang patut, mencegah dari yang lancut, meyakini Allah dan mengingkari thagut.


mereka merasakan sesak dan sempit sehingga memerluhkan penghiburan dari kisah-kisah yang ringan. "Ya Rasulullah" ujar sebagaimana disampaikan Ibn 'Abbas dan diriwayatkan Ath Thabary dalam Tafsirnya, "bercerita lah kepada kami." lalu turunlah Surah Yusuf, deras bgai hujan mencurahi gersang dalam dada.


Kami menceritakan kepadamu kisah yang baik dengan mewahyukan Al Qur'an ini kepadamu. (Q.s Yusuf [12]:3)


Inilah kisah terbaik. Ialah Kisah cerita cinta. Ialah kisah tentang seorangbernasab termulia, Yusuf ibn Ishaq ibn Ibrahim. Juga berparas terindah dan berakhlaq jelita; Yusuf yang digelari Al Khair, si baik, pembawa kebaikan.


Sayang sekali, ketika kita menyebut nama Yusuf, yang tercetak di benak kita hanya ketampanan wajahnya. Kita lupa bahwa dalam karunia ketampanannya itu terkandung kasih sayang ayahanda, dengki saudara, pembuangan kesumur, pertolongan kafilah,dijual jadi sahaya, digoda majikan jelita, fitnah dari yang salah, dijadikan bahan balas dendam hingga para wanita mengiris jarinya, memilih masuk penjara daripada berbuat nista, berdakwah didalamnya, dilupakan kawan, diangkat menjadi pejabat tinggi, sibuk mengurus negara, berjumpa dan menahan diri terhadap saudara, membuat muslihat demi berjumpa dengan orangtua, serta menahan diri dari mengungkit luka ketika mimpi masa kecilnya terbukti nyata.


kisah terbaik adalah kisah yang berliku-liku. cerita terbaik adalah hidup yang berwarna-warni.


"Ihdinash shiroaathal mustaqiim. Tujukanlah kami jalan yang lurus."


Tidak sah shalat kita tanpa membaca surah Al Fatihah di setiap rakaatnya. dan senarai 7 ayat terdasyat ini, usai memuji Allah, memuliakan dan mengagungkan-Nya, dengan runduk kita menadah karunia-Nya. Ialah doa kita agar Allah karuniakan petunjuk ke jalan yang lurus. kita membacanya sekurangnya 17x, sebab ialah doa terpenting, permohonan terpojok dan pinta paling utama.


Jalan yang lurus.


Terjemahan itu mungkin membuat sebagian dari kita membayangjan bahwa jalan yg lurus itu bagus, halus, dan mulus. kita mengira shiraathal mustaqiim adalah titian yg gangsar dan titian yang lancar. kita menganggap bahwa ia adalah jalan yg bebas hambatan dan tiada sesak, tanpa rintangan dan onak. Kita menyangka dijalan itu, segala keinginan terkabul, segala harapan terwujud, dan semua kemudahan dihamparkan.


Frasa "jalan yang lurus" membuat kita mengharapkan kita jalur yang tanpa deru dan tanpa debu.


Maka mereka kadang terlupa, bahwa penjelasan tentang jalan yang lurus itu tepat berada di ayat berikutnya. Jalan lurus itu adalah, Jalan orang-orang yang telah Kauberi nikmat. Bukan jalan yang Kaumurkai, dan bukan pula jalan mereka yang sesat.


Maka membentanglah Al Qur'anul Karim sepanjang 113 surah bakda Al Faatihah untuk memaparkan bagi manusia jalan orang-orang yang telah diberi nikmat itu. Ialah jalan Adam dan Hawa; jalan Nuh; Hud, dan Shalih; jalan Daud dan putranya; jalan Ya'qub sekeluarga; jalan Ayyub dan Yunus; jalan Zakariyya dan Yahya, serta Maryam dan 'Isa. Jlan indah itu sesekali ditingkahi jalan mereka yang dimurka dan sesat; jalan Iblis dan Fir'aun, hingga Samiri dan Qarun.


Cerita kehidupan Adam hingga 'Isa itu adalah lapis-lapis keberkahaan.


Kisah mereka berkelindan, mengulur makna-makna yang mengkohkan cipta, ras dan karsa Sang Rasul terakhir dan ummatnya yang bungsu. Kisah mereka bertautan, melahirkan artian-artian yang menguatkan imandan perjuangan Sang Penutup rangkaian kenabian beserta para pengikutnya; menghadapi kekejaman Abu Jahl, kekejian Abu Lahab, keculasan Al-'Ash ibn Wail, tuduhan Al-Walid ibn Al-Mughirah, dongengan An-Nazhar ibn Harish, rayuan 'Utbah ibn Rabi'ah, cambukan 'Umayyah ibn Khalaf, hingga timpukan 'Uqbah ibn Abi Mu'ith.


Adalah Rasulullah memerah wajahnya pada suatu hari, ketika beliau bangkit dari berbaring berbantal surban di dekat Ka'bah. Adalah Khabbab ibn Al-Arat, lelaki pandai besi yang kerap disiksa Abu Jahl dengan diikat dengan selongsong logam dan dipanggang diatas bara peleleh besi; hari itu menghadap dan berbisik. "Ya Rasulullah" demikianbegitu lirih dia berkata, seakan masih merasakan bagaimana punggungnya melepuh lalu pecah, dan arang penyiksa terpadam oleh tetesan cairan luka bakar, "tidakkah engkau berdoa atau menolong kami?"


Di antara alis bertaut junjungannya, ada pembuluh yang kian mimbiru. itu pertanda bahwa manusia yang paling pengasih ini marah karena Rabbnya. "Demi Allah" ujar beliau bergetar, "orang-orang sebelum kalian ada yang disisir dengan sikat besi hingga terpisah daging dari tulangnya, ada ada yg digergaji hingga terbelah badannya; tapi itu semua tak memalingkan mereka dari 'Laa ilaaha illaallaa; tiada sesembahan yang benar selain Allah."


Khabbab sama sekali tidak bersalah ketika bertanya. Khabbab sungguh harus difahami kerisauannya. Khabbab mengorbankan seluruh dirinya; sengan sakit dan luka, dengan siksa dan dinista, demi risalah yang dibawa Muhammad Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Tetapi, demikianlah Sang Nabi hendak mengajarkan padanya dan kepada kita, apa makna jalan yang lurus.


Dan sesungguhnya Allah adalah Rabbku dan Rabb kalian, maka sembahlah Dia. Inilah jalan yg lurus. (Q.s. Maryam [19]: 36)


Jalan yang lurus itu diikat oleh satu hakikat. Yakni beribadah hanya kepada Allah satu-satunya, tiada sekutu bagi-Nya.  Bahwa didalamnya terdapat nestapa dan derita, ia hanya penggenap kebersamaan dan cinta. Bahwa didalamnya ada kehilangan dan duka, ia hanya penguat bagi sikap syukur dan menerima. Bahwa didalamnya ada pedih dan siksa, ia hanya penyempurna bagi rasa nikmat dan mulia.


"Demi Allah, Dia pasti akan menyempurnakan urusan ini," demikian Sang Nabi melanjutkan sabdanya pada Khabbab, kini dengan senyum yang bercahaya, "hingga seseorang berjalan dari Shan'a ke Hadhramaut dan tiada yang ditakutinya selain Allah. Tetapi kalian tergesa-gesa."

~BERSAMBUNG~

~Dikutip dari Lapis-Lapis Keberkahan
Karya Ust Salim A. Fillah


Minggu, 07 Februari 2016

“KARAKTER IKHWAN SEJATI”

Ana hanya ingin berbagi, kepada Antum, yang ana harapkan kita semua menjadi seorang ikhwan sejati. Namun, ana juga ingin berbagi kepada para akhwat, agar bisa membantu untuk tidak menghalangi keinginan ikhwan tersebut. Lebih kepada interaksi ikhwan dan akhwat, karena itulah yang menjadi bahan kemirisan ana beberapa tahun ini. Di ambil dari tulisan yang sudah banyak di internet, namun ana pertegas lagi dengan harapan, kita menjadi lebih paham akan karakter ikhwan sejati, yang dicinta Allah Swt. dan didamba Rasulullah Saw. Semoga bermanfaat.

***

Ikhwan sejati bukan dilihat dari bagaimana dia dihormati di kampus, tetapi dilihat dari bagaimana dia dihormati di dalam rumah. Dari dalam rumahlah seorang diketahui shaleh dan shalihah kah ia? Ingat... Seorang aktivis akan menegakkan syari’at dimanapun ia berada. Dan ketika ia dihormati dalam rumahnya, maka, itu adalah sebuah tanda bahwa ia sudah menegakkan syari’at didalam rumahnya. Dan sebelum menjadi aktivis dikampus, seseorang wajib menjadi aktivis didalam rumah!

Ikhwan sejati bukan dilihat dari jumlah sahabat di sekitarnya, tetapi dilihat dari sikap bersahabatnya pada generasi muda bangsa. Tidak hanya mengenal nama, tapi juga memahami apa permasalahan yang sedang dihadapi oleh saudaranya. Ingat, saudaranya, bukan saudarinya! Karena masing masing ikhwan dan akhwat punya jalur masing masing. Dan kita tidak bisa pindah jalur. Ikhwan mengurusi yang akhwat, dan akhwat yang mengurusi ikhwan. Tidak seperti itu! Ia sadar, lebih banyak al-akh yang perlu ia perhatikan. Lewat kiriman tausiyah misalnya. Akhwat tidak perlu dikirimi tausiyah, karena ia juga punya seorang saudari yang akan mengiriminya tausiyah. Sama seperti antum kepada saudara antum lainnya. Jadi kita tak peru lagi bukan untuk mengingatkan saudari-saudari disana melalui kiriman tausiyah tersebut?! *Ana pikir, pasti ada rasa risih seorang akhwat yang dapet SMS tausiyah dari seorang ikhwan. Betul tidak ukh?! Hhhehe  

Ikhwan sejati bukan dilihat dari banyaknya solusi yang ia berikan, tetapi dilihat dari sikap bijaknya memahami persoalan. Ia mengerti betul apa yang masalahnya dan apa solusi terbaiknya. Tidak cukup memberikan ilmu yang didapat dari baca buku, tapi memberikan ilmu atas setiap pengalamannya dalam bertindak. Dan sebaik baik ilmu itu adalah, pengalaman. 

Ikhwan sejati bukan dilihat dari padatnya amanah/agenda yang akan ia jalankan, tetapi dilihat dari baiknya kualitas amanah/agenda tersebut yang telah dijalankan. Bukan kualitas menjadi seorang ketua yang saya maksudkan disini. Tapi kualitas kontribusinya, walaupun hanya berada dibarisan paling belakang. Tapi itu jauh lebih baik ketika ia bertanggungjawab penuh atas apa yang dibebankan kepadanya.

Ikhwan sejati bukan dilihat dari keras suara nya dia membaca Al-Qur’an, tetapi dari konsistennya dia menjalankan apa yang ia baca. Ia memahami betul kisah seorang shahabat Rasulullah, yang shahabat itupun malu bertemu Rasulullah ketika ayat yang diturunkan kemarin belum ia amalkan sampai detik bertemu dengan Rasulullah itu.

Ikhwan sejati bukan dilihat dari dadanya yang bidang, tetapi dari hati yang ada di balik itu. Ia menjaga betul setiap apa yang terlintas dalam hatinya. Sangat sangat menjaga! Tidak ada yang mengisi kekosongan waktunya selain dzikir, istighfar, shalawat, dll. Di setiap langkahnya. Berdirinya. Duduknya. Hati hanya tertuju pada Allah, penguasa segala hati manusia. Ketika ada kecenderungan dalam hatinya untuk memikirkan seorang akhwat, langsung ia beristighfar dan tak lagi ingin memikirkannya. “Sorry ukh, sudah cukup asma Allah dihati ini” 

Ikhwan sejati bukan dilihat dari bahunya yang kekar, tetapi dari kasih sayangnya pada orang disekitarnya. Ia memperhatikan kebutuhan orang didekatnya. Orang tua. Anak kecil. Adik atau kakak kelas. Percuma bahu kekar dibanggakan jika masih terdiam melihat perempuan susah payah membawa beban ditangannya! Pura-pura tidak melihat ada perempuan yang membutuhkan pertolongan. Atau malah cengar-cengir melihat akhwat yang nekat memindahkan kursi atau meja menjelang sebuah kajian –memorial acara kampus-. Padahal ia sudah paham, bahwa membantu menunaikan hajat saudaranya, lebih Rasul cintai, daripada beribadah –sunnah- dalam rumah Allah. Beribadah saja sampai dikeduakan, lha apalagi kalo kita memang sedang tidak ada pekerjaan?!

Ikhwan sejati bukan dilihat dari suaranya yang lantang, tetapi dari keberaniannya mengatakan kebenaran. Miris, jika masih ada ikhwan yang bisa bercanda ‘mengejek’ seorang akhwat, apalagi sangat bertentangan dengan kebenaran. Sedangkan ikhwan lain, tidak ada yang berani membela kebenaran dari akhwat tersebut ditengah tertawanya para aktivis itu. Iya paham, itu hanya bercanda. Tapi sekali lagi, tidak ada yang mengetahui kondisi hati seseorang. Bagaimana jika nanti ejekan yang diucapkan itu, akan menjadi benteng kebenaran setelahnya?! Parahnya lagi, bukan kebenaran yang dilantangkan, malah ejekkan yang terus dilanjutkan. Tidak kapok sampai kebenaran itu, dinyatakan dengan ketegasan si akhwat. *Dan ikhwan.. Ga malu kah sampai mendapat ketegasan dari akhwat gitu?! Kalo saya sih, malu. Rasanya gimanaaaaa gituu  

Ikhwan sejati bukan dilihat dari tunduknya pandangan ketika berbicara, tetapi dilihat dari kemampuannya menundukkan pandangan disaat keadaan lengah. Ketika ia berada di tengah banyak orang, lalu seorang akhwat melintasi mereka. Maka, ia memperlihatkan kepada kawan-kawannya bahwa ia menahan pandangannya dari akhwat tersebut. Jika ia melihat mereka lengah, ia pandangi akhwat tersebut! Dan jika ia khawatir kawan-kawannya memergokinya, ia menahan pandangannya. Padahal, Allah ‘Azza wa Jalla mengetahui isi hatinya bahwa ia ingin melihat aurat akhwat tersebut. Astaghfirullahalazhiim. Ana tidak mau kita semua termasuk golongan mata orang yang berkhianat itu, seperti yang ditafsirkan Ibnu Abbas rahimakumullah mengenai QS. Al-Mu’min ayat 19 itu, wahai akhi dan ukhti...

Ikhwan sejati bukan dilihat dari seringnya ia mendengar lagu-lagu haraki, tetapi dilihat ketika ia memutuskan untuk mendengar ayat Al-Qur’an daripada lagu-lagu haraki. Ia bisa menahan dirinya untuk mendengar lagu-lagu haraki dan sama sekali tidak ada keinginan untuk mendengar lagu yang mendayu dayu. Atas kecintaanya hanya pada Allah Swt., ia sadar bahwa hanya murattal-lah yang pantas didengar. Lagu haraki hanya dibolehkan ketika keadaan sudah teramat futur. Futur se-futur futur-nya! Apalagi lagu yang mendayu-dayu, bukan level bagi ia yang sudah bertahun tahun tarbiyah dan berkali kali mengisi kajian. Lagu mendayu hanya untuk bagi pemula untuk mengalihkan diri dari lagu jahiliyah. Lantas, masih pantaskah kita mendengar lagu itu, wahai lelaki yang mengaku ikhwan sejati?! 

Ikhwan sejati bukanlah dilihat dari banyaknya akhwat yang memuji, tetapi dari komitmennya untuk tidak memuji seorang akhwat. Sebisa mungkin ia menahan kata kata pujian yang ingin ia utarakan, hanya untuk menjaga keduanya dari fitnah. Ya, walaupun hanya sekedar fitnah dalam hati. Namun sadarkah kita akhi... Bahwa fitnah hati itulah yang teramat parah! Seringkali saya melihat atau juga mendengar –tidak sengaja- keluhan akhwat yang mendapat pujian dari seorang ikhwan. Dan ketika itupun, akhwat tersebut mengatakan “Saya harap bukan ikhwan seperti itu yang akan menjadi suami saya kelak”. Jadi sudah pahamkah antum, tentang pandangan seorang akhwat yang mendapat pujian dari kita, wahai akhi?! Ya, betul. Sangat sangat tidak diharapkan untuk menjadi pendampingnya kelak!

***

Ana mohon maaf jika banyak hati yang tergores. Namun, ana berharap besar adanya pengobatan terhadapnya. Dan jika nantinya hati tersebut merasa lebih sehat dari sebelumnya, ana harap Antum bisa membagi tulisan ini. Agar makin banyak hati yang tergores dan bisa jauh lebih sehat dari keadaan sebelumnya. Wallahu a’lam bishshawaab.

I Pround Be A Muslim

Jadikan Islam Sebagai Kebanggaan Hidup

"SETIAP anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani dan Majusi," demikian kutip sebuah hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim

Fitrah Allah maksudnya ciptaan Allah. Sebab manusia diciptakan Allah mempunyai naluri beragama yaitu agama tauhid. Kalau ada manusia tidak beragama tauhid, maka hal itu tidaklah wajar. Mereka tidak beragama tauhid itu hanyalah lantaran pengaruh lingkungan sosial. Jadi gharizah tadayyun adalah permanen, kecenderungan kepada kekafiran adalah susulan.

Batasan agama yang lurus menurut arahan Allah SWT dan Rasulullah SAW diatas menggunakan terma fitrah, sedangkan agama yang lain menggunakan istilah Yahudi, Nasrani dan Majusi. Maka, makna fitrah yang benar adalah Islam itu sendiri. Agama yang melekat dalam diri manusia sejak di alam rahim ibu.

Al-Quran mengatakan, “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus (dinul qayyim), tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Rum (30) : 3)).

Sebelum menjadi janin, manusia sudah bersyahadat di hadapan Allah SWT. Ketika lahir diingatkan ulang kalimat tersebut di telinga kanan dengan suara adzan dan di telinga kiri dengan suara iqamat. Agar dalam kehidupan yang penuh ujian nanti, tidak sampai tergoda/tergelincir/terperosok ke dalam jurang kehancuran (darul bawar), dan meninggalkan Islam. Baik, diuji dengan jabatan, kekayaan dan ilmu.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al Araf (7) : 172).


Berpaling dari Islam adalah menyiksa dirinya sendiri. Karena ia melempar dimensi spiritual di dalam dirinya. Maka kehidupan manusia akan mengalami kehampaan (krisis makna). Apa yang diburu dan dimilikinya tidak menambah kebaikan dirinya, keluarganya dan lingkungan sosialnya (tidak barakah).

Jadi, karunia yang paling mahal dalam kehidupan ini adalah lazzatur ruh (keezatan spiritual), lazzatul Iman wal Islam (kenikmatan beriman dan berislam). Sekalipun kita menggenggam kekayaan dunia tujuh turunan, kekuasaan yang tanpa pensiun, ilmu yang tinggi (sundhul langit, Bhs Jawa), kehidupan yang memiliki pengaruh yang besar, popularitas, tetapi tidak ditemani oleh Islam akan membuat kita kecewa seumur hidup. Sedangkan, sekalipun kita tinggal di gubug reot, di balik jeruji, di rumah kontrakan, kehidupan pas-pasan, jika islam bersama kita, justru disitulah rahasia kemuliaan, dan kebahagiaan kita.

Berbeda dengan dunya (sesuatu yang dekat), mata’ (kepuasaan sesaat), nikmat dinul Islam hanya diberikan kepada hamba yang dicintai-Nya. Itulah sebabnya banyak sekali orang yang menyatakan dirinya secara formal memeluk Islam, tetapi dalam realitas kehidupannya ada yang merasa tidak nyaman dengan atribut keislaman. Bahkan Islam yang indah dan mulia tersebut disalahpahami. Dahulu Islam ditambah-tambah. Kemudian Islam dikurangi. Islam tanpa jihad, Islam tanpa hudud. Sekarang ini Islam diberi embel-embel lain. Islam radikal, Islam moderat dll. Islam masih dipandang belum sempurna. Sehingga memerlukan pengurangan dan penambahan, sehingga dia tidak merasa at home untuk memakainya.


Islam sebagai Dinullah

Nama Muslim bukanlah nama yang diberikan oleh orangtua kita, bukan pula warisan nama yang diberikan oleh nenek moyang kita, bukan pula nama yang dibuat oleh Rasulullah SAW. Yang memberi nama seseorang sebagai Muslim adalah Allah SWT sendiri.Allah SWT memberi standar (ukuran), criteria (sifat) , status (posisi) orang tertentu yang memenuhi kelayakan sebagai Muslim. Tentu, Muslim disini adalah Muslim hakiki, lahir dan batin, hissiyyan wa ma’nawiyyan (penampakan lahiriyah dan batiniyah).

Jadi, Muslim adalah sebuah nama yang agung, yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Mulia. Sejak sebelum Rasulullah SAW diutus di muka bumi ini.

“Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang Muslim dari dahulu [kitab-kitab yang diturunkan sebelum Rasulullah SAW], dan (begitu pula) dalam (Al Quran) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, Maka dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, Maka Dialah Sebaik-baik pelindung dan sebaik- baik penolong.” (QS. Al Hajj (22) : 78).

Dahulu para sahabat sangat bangga menjadi Muslim. Mereka mengatakan, ”Ayahku adalah Islam. Tiada lagi selain Islam. Apabila orang bangga dengan suku, bangsa, kelompok, marga, perkumpulan, paham mereka, tapi aku bangga nasabku adalah Islam. Suatu ketika Salman Al-Farisi radhiyallahu anhu ditanya, ”Keturunan siapa Kamu ?” Salman yang membanggakan keislamannya, tidak mengatakan dirinya keturunan Persia, tapi ia mengatakan dengan lantang, ”Saya putera Islam.” inilah sebabnya Rasulullah saw mendeklarasikan bahwa, ”Salman adalah bagian dari keluarga kami –ahlul bait-, bagian dari keluarga Muhammad saw.”

Islam sebagai Dinul Insaniyyah

Jika merujuk nama manusia menggunakan istilah ‘Al-Insan’ mengandung pengertian yang mendalam. Dari kalimat tersebut melahirkan makna turunan ‘al-Uns’ (harmonis). Ini menunjukkan sesungguhnya sifat dasar manusia mudah untuk menjalin komunikasi dengan yang lain (makhluqun madani), meminjam istilah Ibnu Khaldun. Sesungguhnya inti dinul Islam adalah pandai bergaul (ad-Dinu huwal mua’amalah). Indikator kecintaan Allah SWT kepada hamba-Nya adalah hamba tersebut dicintai orang-orang terdekatnya.Jika terhadap komunitas terdekat tidak memiliki jiwa besar. Mustahil bisa berinteraksi dengan lingkungan social yang lebih luas. Lingkungan terdekat secara minimal terdiri dari 160 KK. Empat puluh KK arah depan. Empat puluh KK arah belakang. Empat puluh KK arah kiri. Dan empat puluh KK arah kanan.Karena fitrah manusia itu senang kepada perbuatan yang dikenali hati (al-Ma’ruf). Senang kepada kejujuran, keadilan, keberanian dalam membela kebenaran, dermawan. Dan tidak senang kepada sesuatu yang diingkari hati (al-Mungkar). Misalnya, kebohongan, ketidak jujuran, kelemahan, kikir, egois, mau benar sendiri sekalipun tidak benar.Jika dalam kehidupan manusia memarginalkan dimensi naluri kepada sifat-sifat kemanusiaan ini, maka manusia akan menjadi srigala bagi yang lain. Ia menjadi keras hati, tertutup.Ada sebuah pameo “ Hari ini makan apa, besok dan lusa makan siapa”.

Islam sebagai Manhajul Hayah

Dalam tata bahasa Arab, Muslim adalah isim fa’il (pelaku) yang berasal dari kata - aslama-yuslimu-islaman – yang bermakna berserah diri. Dari akar kata aslama melahirkan kata turunan (derivat) – at-Taslim (berserah diri), as-Silmu (damai), salima minal mustaqdzirat (steril dari motivasi yang kotor), as Salamu (kesejahteraan), as-Salamah (keselamatan lingkungan). Dari turunan terma Al-Islam telah tergambar sistem kehidupan secara utuh. Yaitu sistem aqidah dan ibadah, sistem sosial, sistem akhlak, sistem ekonomi, sistem penyelamatan lingkungan,

Manhajul hayah artinya menjadikan Islam (al-Quran) sebagai panduan aturan kehidupan manusia. Jadi seorang Muslim adalah orang yang telah menyerahkan jiwa dan raganya, pikiran, hati dan perilakunya untuk mengabdikan diri sepenuhnya kepada Allah SWT. Dan ia yakin dengan cara demikian ia akan merasakan kehidupan yang damai, bisa berbuat dengan tulus, makmur, sejahtera, bisa menyelamatkan lingkungan social dari berbagai bencana.Seorang Muslim menjalankan segala aspek kehidupannya dengan merujuk referensi Islam. Dalam skala kehidupan individu, keluarga, masyarakat, bangsa. Sejak kelahirannya (fiqh aqiqah) hingga kematiannya (fiqh janazah). Menyangkut system ideology, politik, social budaya, pendidikan, ekonomi, pertahanan kemanan dll.

Islam sebagai Dinul Kaun

Sudah kita maklumi, segala sesuatu yang ada di alam semesta ini tunduk kepada suatu peraturan tertentu dan menginduk kepada undang-undang tertentu. Matahari, bulan dan bintang-bintang semuanya patuh kepada suatu peraturan yang permanen (tetap), tidak dapat bergeser atau menyeleweng darinya sedikitpun meskipun seujung rambut (hukum alam).Bumi berputar mengelilingi sumbunya. Ia tidak dapat beranjak dari masa, gerak dan jalan yang telah ditetapkan baginya. Air, udara, cahaya dan panas semuanya tunduk kepada suatu sistem yang khas (unik). Benda-benda yang tidak bernyawa, tumbuh-tumbuhan dan binatang-binatang tunduk kepada sesuatu ketentuan yang pasti, tidak lahir dan tidak mati kecuali menurut ketentuan itu.Demikian pula setiap fase kehidupannya, secara sistematis tunduk kepada pemilik dan pencipta kehidupan. Sejak fase kehidupannya di rahim ibu (berupa janin), ia hidup dengan tenang. Ia dilindungi oleh-Nya dari gangguan suara, panas dan dingin. Kemudian menjadi bayi (shobi), ia diajari oleh Allah menangis ketika dalam keadaan lapar. Kemudian menuju masa kecil (thifl). Ia diajari oleh Allah SWT berbicara, merangkak, berjalan dan berlari. Lalu menuju masa ABG (murahiq). Kemudian melawati masa dewasa (kuhulah). Dan melewati masa syaikh (umur 40 keatas). Dua kelemahan yang melekat pada diri anak Adam adalah masa kecil dan masa tua. Semua fase kehidupan diatas tunduk pada ketentuan Allah SWT. Siapapun tidak bisa menolaknya. Sekalipun mulutnya mengatakan bahwa dirinya Yahudi, Nasrani dan Majusi. Jika manusia bisa memilih, tentu ia ingin tidak melewati masa kecil dan masa tua. Karena masa kecil merepotkan orang tuanya. Dan masa tua merepotkan anak-anaknya.

Islam sebagau Dinul Hadharah

Islam yang diturunkan sebagai din, sebenarnya telah memiliki konsep seminalnya (ilmiah) yang spesifik (unik) sebagai peradaban (kemajuan hidup secara lahir dan batin). Sebab kata din (dal-yak-nun) itu sendiri telah mengandung keragaman makna, ketundukan, keberhutangan manusia kepada Tuhan, struktur kekuasaan, susunan hukum, dan kecenderungan manusia untuk membentuk masyarakat yang mentaati hukum dan mencari pemerintah yang adil. Memiliki makna pula, kecenderungan manusia secara fitrah kembali kepada Perjanjian Pertama Dengan Allah SWT ketika di alam rahim ibu.


وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِن بَنِي آدَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنفُسِهِمْ أَلَسْتَ بِرَبِّكُمْ قَالُواْ بَلَى شَهِدْنَا أَن تَقُولُواْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَذَا غَافِلِينَ“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lalai terhadap ini (keesaan Tuhan)." (QS. Al-A’raf (7) : 172).

Dari din muncul berbagai derivasi (kata turunan), daana (berhutang), da’in (pemberi hutang), dayn (kewajiban), dayunah (hukuman/pengadilan), idanah (keyakinan). Artinya dalam istilah din itu tersirat sistem kehidupan yang utuh. Dinul Islam berarti pola kehidupan yang dibingkai oleh spirit Islam. Paham, perilaku dan kultur kehidupan yang diserap dari nilai-nilai ilahiyah (ketuhanan).

Karena itulah, pada pesan terakhir Allah pada Nabi Muhammad, menyatakan bahwa Islam sebagai agama (din) yang telah sempurnya.

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” (QS. Al-Maidah (5) : 3).

إِنَّ الدِّينَ عِندَ اللّهِ الإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ إِلاَّ مِن بَعْدِ مَا جَاءهُمُ الْعِلْمُ بَغْياً بَيْنَهُمْ وَمَن يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللّهِ فَإِنَّ اللّهِ سَرِيعُ الْحِسَابِ

“Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al Kitab [yang diturunkan sebelum Al Quran] kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka, barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS. Ali Imran (3) : 19).

Mudah-mudahan, kita dan keluarga kita semakin istiqomah untuk berislam dan bangga kepada pada agama Islam. Sebagaimana Allah telah mengatakan keridhoannaya pada agama ini.*

~"Janganlah bersedih..."~

AKHI, dulu ana merasa semangat saat aktif dalam dakwah. Tapi belakangan rasanya semakin hambar. Ukhuwah makin kering. Bahkan ana melihat temyata ikhwah banyak pula yang aneh-aneh." Begitu keluh kesah seorang mad'u kepada murabbinya di suatu malam.Sang murabbi hanya terdiam, mencoba terus menggali semua kecamuk dalam diri mad'unya. "Lalu, apa yang ingin antum lakukan setelah merasakan semua itu?" sahut sang murabbi setelah sesaat termenung.

“Ana ingin berhenti saja, keluar dari tarbiyah ini. Ana kecewa dengan perilaku beberapa ikhwah yang justru tidak islami. Juga dengan organisasi dakwah yang ana geluti; kaku dan sering mematikan potensi anggota-anggotanya. Bila begini terus, ana mendingan sendiri saja..." jawab mad'u itu.

Sang murabbi termenung kembali. Tidak tampak raut terkejut dari roman wajahnya. Sorot matanya tetap terlihat tenang, seakan jawaban itu memang sudah diketahuinya sejak awal.

"Akhi, bila suatu kali antum naik sebuah kapal mengarungi lautan luas. Kapal itu ternyata sudah amat bobrok. Layarnya banyak berlubang, kayunya banyak yang keropos bahkan kabinnya bau kotoran manusia. Lalu, apa yang akan antum lakukan untuk tetap sampai pada tujuan?", tanya sang murabbi dengan kiasan bermakna dalam.

Sang mad'u terdiam berpikir. Tak kuasa hatinya mendapat umpan balik sedemikian tajam melalui kiasan yang amat tepat.

"Apakah antum memilih untuk terjun ke laut dan berenang sampai tujuan?", sang murabbi mencoba memberi opsi.

"Bila antum terjun ke laut, sesaat antum akan merasa senang. Bebas dari bau kotoran manusia, merasakan kesegaran air laut, atau bebas bermain dengan ikan lumba-lumba. Tapi itu hanya sesaat. Berapa kekuatan antum untuk berenang hingga tujuan? Bagaimana bila ikan hiu datang? Darimana antum mendapat makan dan minum? Bila malam datang, bagaimana antum mengatasi hawa dingin?" serentetan pertanyaan dihamparkan di hadapan sang mad'u.

Tak ayal, sang mad'u menangis tersedu. Tak kuasa rasa hatinya menahan kegundahan sedemikian. Kekecewaannya kadung memuncak, namun sang murabbi yang dihormatinya justru tidak memberi jalan keluar yang sesuai dengan keinginannya.

“Akhi, apakah antum masih merasa bahwa jalan dakwah adalah jalan yang paling utama menuju ridho Allah?" Pertanyaan menohok ini menghujam jiwa sang mad'u. Ia hanya mengangguk.

"Bagaimana bila temyata mobil yang antum kendarai dalam menempuh jalan itu temyata mogok? Antum akan berjalan kaki meninggalkan mobil itu tergeletak di jalan, atau mencoba memperbaikinya?" tanya sang murabbi lagi.

Sang mad'u tetap terdiam dalam sesenggukan tangis perlahannya.

Tiba-tiba ia mengangkat tangannya, "Cukup akhi, cukup. Ana sadar. Maafkan ana. Ana akan tetap istiqamah. Ana berdakwah bukan untuk mendapat medali kehormatan. Atau agar setiap kata-kata ana diperhatikan..."

"Biarlah yang lain dengan urusan pribadi masing-masing. Biarlah ana tetap berjalan dalam dakwah. Dan hanya Allah saja yang akan membahagiakan ana kelak dengan janji-janji-Nya. Biarlah segala kepedihan yang ana rasakan jadi pelebur dosa-dosa ana", sang mad'u berazzam di hadapan murabbi yang semakin dihormatinya.

Sang murabbi tersenyum. "Akhi, jama'ah ini adalah jama'ah manusia. Mereka adalah kumpulan insan yang punya banyak kelemahan. Tapi dibalik kelemahan itu, masih amat banyak kebaikan yang mereka miliki. Mereka adalah pribadi-pribadi yang menyambut seruan Allah untuk berdakwah. Dengan begitu, mereka sedang berproses menjadi manusia terbaik pilihan Allah."

"Bila ada satu dua kelemahan dan kesalahan mereka, janganlah hal itu mendominasi perasaan antum. Sebagaimana Allah ta'ala menghapus dosa manusia dengan amal baik mereka, hapuslah kesalahan mereka di mata antum dengan kebaikan-kebaikan mereka terhadap dakwah selama ini. Karena di mata Allah, belum tentu antum lebih baik dari mereka."

"Futur, mundur, kecewa atau bahkan berpaling menjadi lawan bukanlah jalan yang masuk akal. Apabila setiap ketidak-sepakatan selalu disikapi dengan jalan itu; maka kapankah dakwah ini dapat berjalan dengan baik?" sambungnya panjang lebar.

"Kita bukan sekedar pengamat yang hanya bisa berkomentar. Atau hanya pandai menuding-nuding sebuah kesalahan. Kalau hanya itu, orang kafirpun bisa melakukannya. Tapi kita adalah da'i. Kita adalah khalifah. Kitalah yang diserahi amanat oleh Allah untuk membenahi masalah-masalah di muka bumi. Bukan hanya mengeksposnya, yang bisa jadi justru semakin memperuncing masalah."

"Jangan sampai, kita seperti menyiram bensin ke sebuah bara api. Bara yang tadinya kecil tak bernilai, bisa menjelma menjadi nyala api yang membakar apa saja. Termasuk kita sendiri!"

Sang mad'u termenung merenungi setiap kalimat murabbinya. Azzamnya memang kembali menguat. Namun ada satu hal tetap bergelayut dihatinya.

"Tapi bagaimana ana bisa memperbaiki organisasi dakwah dengan kapasitas ana yang lemah ini?" sebuah pertanyaan konstruktif akhirnya muncul juga.

"Siapa bilang kapasitas antum lemah? Apakah Allah mewahyukan begitu kepada antum? Semua manusia punya kapasitas yang berbeda. Namun tidak ada yang bisa menilai, bahwa yang satu lebih baik dari yang lain!", sahut sang murabbi.

"Bekerjalah dengan ikhlas. Berilah taushiah dalam kebenaran, kesabaran dan kasih sayang kepada semua ikhwah yang terlibat dalam organisasi itu. Karena peringatan selalu berguna bagi orang beriman. Bila ada sebuah isyu atau gosip, tutuplah telinga antum dan bertaubatlah. Singkirkan segala ghil antum terhadap saudara antum sendiri. Dengan itulah, Bilal yang mantan budak hina menemui kemuliaannya."

Suasana dialog itu mulai mencair. Semakin lama, pembicaraan melebar dengan akrabnya. Tak terasa, kokok ayam jantan memecah suasana. Sang mad'u bergegas mengambil wudhu untuk qiyamullail malam itu. Sang murabbi sibuk membangunkan beberapa mad'unya yang lain dari asyik tidurnya.

Malam itu, sang mad'u menyadari kekhilafannya. Ia bertekad untuk tetap berputar bersama jama'ah dalam mengarungi jalan dakwah. Pencerahan diperolehnya. Demikian juga yang kami harapkan dari Anda, pembaca...

Wallahu a'lam.

Kamis, 04 Februari 2016

Untukmu, Wahai Aktivis Dakwah...

Kepada kalian yang mempertautkan hati di jalan dakwah ....
Kepada kalian yang menjalin ikatan kasih dalam indahnya ukhuwah ....
Kepada kalian yang merindukan tegaknya syari’ah ....
Kepada kalian, ana tulis sebuah surat cinta ....
Karena bersama kalian ku temukan cinta di jalan dakwah ....
Kasih dalam jihad fi sabilillah ....
Uhibbukum FILLAH …. LILLAH ….

Teruntuk para aktivis dakwah,

Dakwah berdiri di atas aqidah yang kokoh, ibadah dan ilmu yang shohih, niat yang lurus, dan iltizam yang kuat
Dakwah adalah proyek besar membangun peradaban umat
Dakwah adalah jalan yang sukar dan terjal
Dakwah adalah jalan yang sangat panjang 
Dakwah penuh dengan gangguan, cobaan, dan ujian
Dakwah bukan jalan yang ditaburi bunga dan wewangi kesturi
Dakwah butuh komitmen yang kuat dari pengembannya
Dakwah memerlukan kemurahan hati, pemberian dan pengorbanan tanpa mengharapkan hasil, tanpa putus asa, dan putus harapan
Dakwah butuh pengorbanan dan kesungguhan
Dakwah butuh kesabaran dan keistiqomahan


Teruntuk para pejuang,

Sudah teguhkah azzam yang kau pancang ???
Benarkah perjuanganmu karena ALLAH ???
Mundurlah, dan luruskan kembali niatmu, jika:
Nafsu masih merajaimu
Kilauan permata masih menyilaukanmu
Kesenangan dunia masih melenakanmu
Syaithan masih bersarang di dadamu dan menjadi teman setiamu
Kenikmatan semu masih membuaimu dan menutup mata batinmu
Percayalah, semua itu adalah keindahan sesaat yang akan menggoyahkan tekadmu. Allah Azza Wa Jalla sengaja ciptakan itu sebagai ujian bagimu!
Berbahagialah jika kau menjadikan Allah ‘Azza wa Jalla sebagai tujuan akhirmu, puncak kerinduanmu. Dan jadilah antum sebagai orang-orang yang beruntung!


Untuk jiwa-jiwa yang merindukan kemenangan
Untuk setiap diri yang mengaku sholih
Untuk mereka yang mengajak kepada jalan yang lurus
Untuk mereka yang saling menasehati dalam kebenaran dan kebaikan
Ketika jalan yang kalian tempuh begitu sukar, ketika amanah yang kalian emban begitu berat, ketika tanggung jawab yang kalian pikul begitu banyak, terkadang kalian lupa dengan azzam yang kalian tanam sebelumnya, kalian lalai dan terlena. Kalian lupa membersihkannya, membidiknya, mengontrolnya, memuhasabahinya, dan lupa untuk meluruskannya kembali. Apakah dunia yang fana lebih kau cintai daripada kampung akhirat yang kekal abadi?


Duhai para pecinta ALLAH
Duhai yang meneladani Muhammad Rasulullah
Duhai yang menjadikan Al-Quran sebagai pedomannya
Duhai yang berjihad di jalanNya dengan sebenar-benarnya jihad
Duhai yang memburu syahid sebagai cita-cita tertingginya


Dakwah telah memanggilmu!
Umat menunggu pencerahan darimu!
Letih sudah mata ini menyaksikan kemaksiatan merajalela.
Lelah sudah kaki melangkah, karena setiap jengkal yang dipijak, bumi merasa terdzolimi oleh manusia-manusia tak beradab.
Lunglai tubuh ini ketika mendapati hukum-hukum Allah diganti dengan hukum-hukum makhluk yang hanya menebar kerusakan.
Perih hati ini ketika menemukan thoghut-thoghut bersarang di dalamnya.
Menangis batin ini menyaksikan saudara-saudara seiman, seislam, dan seaqidah saling caci, saling menyalahkan, saling bermusuhan. Lalu ke mana perginya ukhuwah?
Apakah ukhuwah hanya berlaku pada segolongan atau sekelompok umat yang bernaung dalam satu jamaa'ah?


Wahai yang mengaku diri aktivis haroki,

Sudah benarkah aktivitas yang antum jalani dalam menyeru manusia ke jalan ALLAH?
Serulah dirimu sebelum kau menyeru orang lain.
Sudahkah ghiroh yang kau miliki kau poles dengan ilmu yang shohih? Karena semangat saja belum cukup! Teruslah tholabul'ilm..
Sudah efektifkah syuro-syuro antum?
Apa yang ada dalam syuro hanya obrolan sia-sia yang mengundang tawa?
Senda gurau tak bermakna?
Tak ada lagi kesungguhan dan fokus menyelesaikan masalah?
Terlalu banyak basa-basi dan kata-kata tak berarti?
Bagaimana cara antum merumuskan, mengatur strategi jitu, menyusun konsep, menetapkan target, men-SWOT, dan lain sebagainya, sudah syar'ikah?
Sudahkah antum pantau terus niatmu agar tetap lurus di awal, di tengah, sampai ke penghujungnya?
Di sini niat dan tujuan harus selalu di luruskan. Bukan demi keegoisan masing-masing individu atau jama'ah, tapi demi tegaknya Dienullah.
Lalu, bagaimana kenyataannya di lapangan?
Teknis yang telah antum usahakan bersama?
Apakah ada titik-titik noda di dalamnya?
Hijab yang semakin longgar, virus merah jambu yang semakin menyebar, ukhuwah yang kian memudar, barisan yang terpencar. Atau mungkin sms-sms taujih yang menyebar di kalangan ikhwan dan akhowat yang kemudian mengotori hati-hati mereka, menodai niat tulus mereka. Dari kata-katanya, ada rasa kagum pada ghirohnya, salut pada keteguhannya, simpatik pada ke-haroki-annya, dan tersanjung pada perhatiannya. Benih-benih inilah yang akan tumbuh bersemi di hati dan mengefek pada amal sehari-hari.
Mungkin saja fenomena-fenomena itu yang mengurangi keberkahan dakwah sehingga ALLAH 'Azza wa Jalla belum mau menghadiahkan kemenangan itu pada kita! Karena di samping menyeru kepada kebenaran, tentara-tentara Allah itu juga menggandeng kemaksiatan, apapun bentuknya! 


Akhi wa Ukhti ....

Di mana antum berada saat saudara-saudara antum di belahan bumi yang lain sedang megangkat senjata, menghadang tank-tank zionis, melempar bom dan batu kerikil di medan intifadhah?
Di mana antum saat mereka berburu syahid? Yang mereka pertaruhkan adalah nyawa, akhi! Nyawa, ukhti! NYAWA!
Jika darah tak mampu antum alirkan, maka di mana saat saudara-saudara antum sedang bermandi peluh menyiapkan kegiatan-kegiatan dakwah, acara-acara syiar Islam, daurah, bakti sosial, dan seabrek agenda-agenda dakwah yang lain.
Di mana antum saat yang lain sedang membuat publikasi, mendesain dekorasi, menyediakan konsumsi, atau menyebar proposal, mencari dana ke sana ke mari? Semua demi kelancaran acara. Demi syiar Islam! Agar dakwah terus menggaung di berbagai penjuru. Agar Islam tetap berdetak di jantung masyarakat. Masyarakat yang kini telah hilang jati dirinya sebagai hamba ALLAH. Masyarakat yang kini malu mengaku sebagai Muslim. Masyarakat yang kini phobi dengan syari'at Islam. Ya, masyarakat itu kini ada di sekeliling kita. Mereka hadir di tengah-tengah kita. Mereka adalah objek dakwah kita!


Wahai yang masih memiliki hati tempat bersemayamnya iman, apakah ia tidak lagi bergetar kala ayat-ayatNya diperdengarkan?
Apakah ia tak lagi geram ketika melihat kemungkaran terjadi di hadapannya?
Wahai yang memiliki mata yang dengannya antum bias melihat indah dunia, apakah ia tak lagi menangis saat dikabarkan tentang azab, ancaman, dan siksaan?
Apakah ia tak lagi meneteskan cairan hangatnya ketika bangun di tengah malam dalam sujud-sujud panjang?
Apakah ia tak lagi mengalirkan butiran-butiran beningnya ketika melihat saudaranya yang seaqidah didzolimi, dirampas hak-haknya, dilecehkan dan di aniaya, bahkan dibunuh karena mempertahankan diennya?


Ke mana kalian wahai aktivis dakwah?
Di mana kini antum berada?
Sedang bersantai ria di kamar sambil mendengar nasyid kesukaan?
Terbuai di atas kasur dengan bantal empuk dan selimut tebal?
Bersenda gurau bersama kawan-kawan?
Membaca novel-novel picisan?
Atau…sedang melamun memikirkan sang pujaan?


Kepada kalian yang sedang menanti hadirnya belahan jiwa…
Masih perlukah romantisme di saat nasib umat sedang berada di ujung tombak?
Masih perlukah gejolak asmara tumbuh dan bersemi di jiwa?
Membuat otak sibuk memikirkannya, membuat setiap lisan tak henti menyebut namanya, membuat setiap hati tak tenang, resah, dan gelisah menunggu hadirnya.
Masih perlukah virus merah jambu menjangkiti rongga-rongga hatimu? Melemahkan sendi-sendimu, menggoyahkan benteng pertahananmu, merapuhkan tekadmu, menenggelamkanmu dalam samudera cinta mengharu biru.
Masih perlukah semua perasaan itu kau pelihara, kau tanam, kau pupuk, kau siram, dan kau biarkan tumbuh subur dalam hatimu?

Wahai aktivis dakwah, sungguh perasaan itu fitrah! Kau pun sering berdalih bahwa itu adalah anugerah. Sesuatu yang tak bisa dinafikan keberadaanya, tak bisa dielakkan kehadirannya. Cinta memang datang tanpa diundang. Cinta memang tak mampu untuk memilih, kepada siapa dia ingin hinggap dan bersemi. Dia bisa menghuni hati siapaun juga, tak terkecuali aktivis dakwah! Sekali lagi, cinta itu fitrah!
Namun wahai ikhwah yang mewarisi tongkat estafeta dakwah, bisa jadi perasaanmu itu menghalangimu untuk mengoptimalkan kerja dakwahmu.
Bisa jadi perasaanmu itu mengganggu aktivitas muliamu.
Bisa jadi perasaanmu itu mengusik hatimu untuk mundur dari jalan dakwah yang kau tempuh.
Bisa jadi perasaanmu itu membelenggumu dalam cinta semu.
Dan yang terparah, bisa jadi perasaanmu itu menggeser posisi Rabbmu dalam tangga cintamu.
Tanpa kau sadari!
Yang kau ingat hanya dia!
Yang terbayang adalah wajahnya.
Yang kau pikirkan kala dia menjadi partner dakwahmu seumur hidup, membangun pernikahan haroki, menemanimu membina keluarga dakwah dan menjadikannya abi/ummi dari jundi-jundi rabbani…ah indahnya!
Yang ada di sholatmu, dia.
Yang ada di tilawahmu, dia.
Yang ada di bacaan ma’tsuratmu, dia. Yang ada di benakmu, dia.
Yang ada di aktivitasmu, dia. Hanya ada dia, dia, dia, dan dia!


Benarkah itu wahai saudaraku?
Mari kita jawab dengan serentak....na'udzubillahi min dzaalik!
Ke mana cinta ALLAH dan RasulNya kau tempatkan?
Di mana dakwah dan jihad kau posisikan?
Astaghfirullahal 'adziim...
Dakwah hanya dimenangkan oleh jiwa-jiwa bermental baja, bertekad besi, berhati ikhlas. Orang-orang beriman yang mengatasi persoalan dengan ilmu yang shohih dan memberi teladan dengan amal.
Perjalanan panjang ini membutuhkan mujahid/ah perkasa yang mampu melihat rintangan sebagai tantangan, yang melihat harapan di balik ujian, dan menemukan peluang di sekeliling jebakan.
Ke mana militansi yang antum miliki?
Ke mana ghiroh membara yang antum punya?


Pejuang sejati adalah mereka yang membelanjakan hartanya di jalan dakwah, menjual dunianya untuk akhiratnya, mengorbankan nyawanya demi jihad fisabilillah, menggunakan seluruh waktu dan sisa umurnya untuk memeperjuangkan dan mengamalkan Islam.
Dakwah TIDAK BUTUH aktivis-aktivis MANJA!
Dakwah TIDAK BISA DIPIKUL oleh orang-orang CENGENG, MENTAL-MENTAL CIUT, NYALI YANG SETENGAH-SETENGAH, dan GERAK YANG LAMBAN!
Barisan dakwah harus disterilkan dari prajurit-prajurit yang memiliki sifat-sifat seperti di atas (manja, cengeng, mental ciut, nyali setengah-setengah, ragr-ragu, dan lamban bergerak). Karena, keberadaan mereka hanya akan menularkan dan menyebarkan aroma kelemahan, kerapuhan, kepasrahan, dan kekalahan di tengah-tengah barisan.
Dakwah butuh pejuang-pejuang tangguh untuk mengusungnya.
Dakwah butuh orang-orang cerdas untuk memulainya, orang-orang ikhlas untuk memperjuangkannya, orang-orang pemberani untuk memenangkannya!

Antumlah orang-orang terpilih yang mengukir sejarah itu!